Seringkali kita berpikir bahwa banyak Bahasa Belanda yang diserap dalam bahasa kita. Namun apakah betul hanya Bahasa Belanda yang diserap dalam bahasa kita, bagaimana kalau sebaliknya? Tidak adakah Bahasa Indonesia yang diserap dalam Bahasa Belanda? Okey, saya ajak anda jalan-jalan di Groningen untuk mencari bukti bahwa Bahasa kita-pun juga diserap oleh mereka.
Persis diseberang Toko Melati ada
Toko Semarang. Meski menyandang nama sama-sama toko, tetapi toko yang satu ini
menjual makanan siap santap. Menu yang ditawarkan tentu saja menu Indonesia. Istilah
dalam jenis menu makanannyapun sebenarnya dalam Bahasa Belanda. Tetapi karena
istilah yang dipakai sebagian besar sama padanannya dalam Bahasa Indonesia,
maka kita tidak perlu membawa kamus
untuk menebak apa maksudnya. “Nasi rames: witte rijs met vlees, sambal goreng bontjis,
sayur lodeh, tahutempe ketjap, sambal goreng tempe kering, sambal goreng telor,
atjar ketimun, serundeng en krupuk.” Beberapa chef-nya kami kenal. Ada yang
asli Jawa Timur adapula dari Manado. Jadi memang cita-rasanya sesuai dengan
lidah orang Indonesia, pedas dan kuat dengan bumbu rempahnya.
Sederet dengan Toko melati ada “Warung
Jawa”. Kalo warung ini tampaknya dimiliki oleh orang keturunan Jawa kelahiran
Suriname. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah memang antara Jawa, Suriname
dan Belanda mempunyai hubungan erat. Meski menyandang nama Jawa, tampaknya
tidak banyak pekerjanya yang bisa berbahasa Jawa apalagi Bahasa Indonesia. Kami
sekeluarga kadangkala mengunjungi warung ini. Meski menyajikan banyak menu,
tetapi yang menjadi “champion” adalah saoto-nya.
Saoto, menurut kami, adalah sebutan untuk soto (ayam). Untuk membedakan dengan
soto di Jawa kami lebih suka menyebutnya dengan Soto Suriname. Soto suriname itu seperti soto ala Jogja atau
Solo, kuahnya bening dengan sedikit tauge. Tentu saja ada tambahan satu telur
utuh dan daging ayam. Yang menjadi ciri khas dari soto suriname adalah irisan
kentang tipis-tipis dengan mihun yang digoreng! Namun ada satu menu yang
membuat kami penasaran namanya “chudangan”. Kami berpikir keras kira-kira apa
ya maksudnya? Setelah membaca keterangannya dikatakan chudangan: pittige groenteschotel met cocos en ei. OOOOalaaaaaah….ternyata
itu yang dimaksud Gudangan. Itu lho, makanan sayur segar yang ditaburi parutan
kelapa dan telur rebus. Biasanya dipincuk (pakai daun pisang) dan dijual di
pasar-pasar tradisional di Jogja dan Jawa Tengah. Chudangan!
Nah, betul kan, saya yakin istilah-istilah
yang saya sebutkan itu memang dari kata Bahasa Indonesia (dahulu melayu). Atau setidaknya
dari Pulau Jawa. Lagi-lagi ada sebuah artikel menarik. Judulnya “Top 50 –
Nederlandse woorden uit het Maleis & Indonesisch” karangannya Enne Koops. Dalam tulisannya, dia bilang
setidaknya ada 109 kata Bahasa Belanda yang diserap dari Bahasa Indonesia
(=melayu) serta beberapa kata dari Bahasa Jawa. Yang menarik ternyata, kata-kata serapan ini datang dalam Bahasa Belanda
secara bergelombang. Sebagian besar istilah-istilah ini masuk pada abad ke-19
hasil interaksi para pelayar Belanda yang pernah mengunjungi Hindia-Belanda. Angka
ini terhitung sangat kecil dibandingkan dengan 8 ribu istilah Bahasa Belanda
yang diserap dalam Bahasa Indonesia (dan Jawa?).
Berikut saya tunjukan beberapa
kata Bahasa Belanda, silahkan kalian menebak apa artinya. Saya mulai dari
istilah bahan makanan dulu: ketjap, sate,
nasi goreng, pisang, kroepoek, sago, loempia, bami, babi pangang. Bagaimana,
ada yang tidak tahu artinya? Sekarang tebak lagi, apa artinya kata-kata berikut
ini; pienter, piekeren, branie, amok,
rampokken, mataglap, senang, soesa. Masih
penasaran lagi? Coba artikan yang ini: toko,
klewang, sarong, koeli, kakkies, prauw, orang oetan, klamboe, goeroe dan
lain-lain, dan lain-lain.
Oke itu dulu acara “pit-pitan”-nya
keliling Groningen. Jangan lupa mampir toko dan warung yang sudah disebut
diatas. Nggak perlu bawa kamus, cukup duduk manis dan nikmati sajiannya. Yang penting
“Pe-de” abis pesen makanannya, apalagi
setelah baca tulisan ini. Tot Ziens!
(BRT)