Sunday 25 March 2018

Bahasa Indonesia yang diserap dalam Bahasa Belanda

Seringkali kita berpikir bahwa  banyak Bahasa Belanda yang diserap dalam bahasa kita. Namun apakah betul hanya Bahasa Belanda yang diserap dalam bahasa kita, bagaimana kalau sebaliknya? Tidak adakah Bahasa Indonesia yang diserap dalam Bahasa Belanda? Okey, saya ajak anda jalan-jalan di Groningen untuk mencari bukti bahwa Bahasa kita-pun juga diserap oleh mereka.


Perjalanan bersepeda (baca cara lidah jawa: “fiet-fiet-an”) langsung menuju arah jalan Gedempte Zuiderdiep. Daerah ini sebenarnya sudah masuk kawasan kota. Ada tiga tempat yang sering disinggahi orang Indonesia. Mungkin, yang bikin pertama kali  berkesan adalah pilihan namanya.  Yang pertama adalah Toko Melati. Pilihan kata “toko” apakah memang yang dimaksud sama dengan toko di Indonesia? Ternyata memang sama. Toko ini menjual semua bahan masakan yang bercita rasa asia, khususnya Indonesia. Dari sachet bumbu dapur hingga tahu-tempe. Tidak hanya bahan mentah, makanan kecil khas Indonesia juga tersedia seperti lumpia, risoles, kue lapis dan lain-lain. Beberapa pekerjanya juga bisa berbahasa Indonesia,’medhok’ Surabaya.


Persis diseberang Toko Melati ada Toko Semarang. Meski menyandang nama sama-sama toko, tetapi toko yang satu ini menjual makanan siap santap. Menu yang ditawarkan tentu saja menu Indonesia. Istilah dalam jenis menu makanannyapun sebenarnya dalam Bahasa Belanda. Tetapi karena istilah yang dipakai sebagian besar sama padanannya dalam Bahasa Indonesia, maka  kita tidak perlu membawa kamus untuk menebak apa maksudnya. “Nasi rames: witte rijs met vlees, sambal goreng bontjis, sayur lodeh, tahutempe ketjap, sambal goreng tempe kering, sambal goreng telor, atjar ketimun, serundeng en krupuk.” Beberapa chef-nya kami kenal. Ada yang asli Jawa Timur adapula dari Manado. Jadi memang cita-rasanya sesuai dengan lidah orang Indonesia, pedas dan kuat dengan bumbu rempahnya.


Sederet dengan Toko melati ada “Warung Jawa”. Kalo warung ini tampaknya dimiliki oleh orang keturunan Jawa kelahiran Suriname. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah memang antara Jawa, Suriname dan Belanda mempunyai hubungan erat. Meski menyandang nama Jawa, tampaknya tidak banyak pekerjanya yang bisa berbahasa Jawa apalagi Bahasa Indonesia. Kami sekeluarga kadangkala mengunjungi warung ini. Meski menyajikan banyak menu, tetapi yang menjadi “champion” adalah saoto-nya. Saoto, menurut kami, adalah sebutan untuk soto (ayam). Untuk membedakan dengan soto di Jawa kami lebih suka menyebutnya dengan Soto Suriname.  Soto suriname itu seperti soto ala Jogja atau Solo, kuahnya bening dengan sedikit tauge. Tentu saja ada tambahan satu telur utuh dan daging ayam. Yang menjadi ciri khas dari soto suriname adalah irisan kentang tipis-tipis dengan mihun yang digoreng! Namun ada satu menu yang membuat kami penasaran namanya “chudangan”. Kami berpikir keras kira-kira apa ya maksudnya? Setelah membaca keterangannya dikatakan chudangan: pittige groenteschotel met cocos en ei. OOOOalaaaaaah….ternyata itu yang dimaksud Gudangan. Itu lho, makanan sayur segar yang ditaburi parutan kelapa dan telur rebus. Biasanya dipincuk (pakai daun pisang) dan dijual di pasar-pasar tradisional di Jogja dan Jawa Tengah. Chudangan!



Nah, betul kan, saya yakin istilah-istilah yang saya sebutkan itu memang dari kata Bahasa Indonesia (dahulu melayu). Atau setidaknya dari Pulau Jawa. Lagi-lagi ada sebuah artikel menarik. Judulnya “Top 50 – Nederlandse woorden uit het Maleis & Indonesisch” karangannya Enne Koops. Dalam tulisannya, dia bilang setidaknya ada 109 kata Bahasa Belanda yang diserap dari Bahasa Indonesia (=melayu) serta beberapa kata dari Bahasa Jawa. Yang menarik ternyata,  kata-kata serapan ini datang dalam Bahasa Belanda secara bergelombang. Sebagian besar istilah-istilah ini masuk pada abad ke-19 hasil interaksi para pelayar Belanda yang pernah mengunjungi Hindia-Belanda. Angka ini terhitung sangat kecil dibandingkan dengan 8 ribu istilah Bahasa Belanda yang diserap dalam Bahasa Indonesia (dan Jawa?).

Berikut saya tunjukan beberapa kata Bahasa Belanda, silahkan kalian menebak apa artinya. Saya mulai dari istilah bahan makanan dulu: ketjap, sate, nasi goreng, pisang, kroepoek, sago, loempia, bami, babi pangang. Bagaimana, ada yang tidak tahu artinya? Sekarang tebak lagi, apa artinya kata-kata berikut ini; pienter, piekeren, branie, amok, rampokken, mataglap, senang, soesa.  Masih penasaran lagi? Coba artikan yang ini: toko, klewang, sarong, koeli, kakkies, prauw, orang oetan, klamboe, goeroe dan lain-lain, dan lain-lain.


Oke itu dulu acara “pit-pitan”-nya keliling Groningen. Jangan lupa mampir toko dan warung yang sudah disebut diatas. Nggak perlu bawa kamus, cukup duduk manis dan nikmati sajiannya. Yang penting “Pe-de” abis  pesen makanannya, apalagi setelah baca tulisan ini. Tot Ziens! (BRT)

Wednesday 21 March 2018

Menelusuri Nama Jalan Kepulauan Indonesia di Groningen - Belanda

Tidak hanya di Utrecht dan DenHaag, di Groningen kota Ujung Utara Belanda juga mempunyai nama-nama pulau atau kota di Indonesia yang diabadikan dalam nama-nama jalannya. Mungkin kita akan berpikir bahwa nama-nama jalan itu ada setelah  masa kolonial Belanda di Indonesia berakhir atau dengan kata lain, Belanda nggak bisa “move on” ya?  Eits… Riouwstraat alias Jalan Riau sudah ada sejak tahun 1908, mas-brow!



"Lho kok bisa? Dan ngapain sih Groningen memakai nama-nama kota atau pulau Indonesia, nggak kreatif banget." Waduh, kalo itu…. kita perlu ke bibliotheque (=perpustakaan) buat baca biar nggak salah sangka kecebur kanal.  Oke, kita pergi sekarang siapkan sepedamu dan kita fiets-fiets-an (baca cara lidah jawa: pit-pitan), yihuiiii.

Tujuan utama kita adalah daerah Korrewegwijk (wijk=kabupaten). Daerah ini dikenal sebagai daerah yang banyak menggunakan nama-nama pulau atau kota di Indonesia. Banyak kaum pendatang tinggal di wilayah ini karena harga sewa rumahnya relative lebih murah dan juga terdapat supermarket Asia yang diklaim terbesar di Groningen. Korreweg berjarak kurang lebih lima menit bersepeda dari pusat kota. Arahnya ke timur laut. Wilayah ini lumayan asri dengan beberapa danaunya. Disebelah timur lautnya dibatasi dengan kanal besar dimana kapal-kapal tanker lalu lalang. Kalau zommer (musim panas), enak buat duduk-duduk menikmati pemandangan.
 


Ayo kita mulai telusuri jalannya. "Whaaaat ??? Perasaan baru gowes beberapa ayunan kok udah sampai Semarang?",  Hahaha…tenang mas-brow, tenang….jangan panik. Di Belanda, kita bisa keliling Indonesia hanya dalam sepuluh menit (rasah ndeso!)

Nah, dari Semarang deket pohon cemara yang meranggas itu sudah tampak Surabaya. Deket to, mas-brow? 

Yuk lanjut kita ke Maluku, disekitar sana ada danau kecil yang asri juga. Ada taman bermain anak dan lapangan bola mini.

Gimana mas-brow? Asyik kan? Dari Maluku mau mampir ke Medan, nggak? Mumpung berseberangan. Itu, nama jalannya udah tampak. Yuk!

Udah bosan keliling Maluku dan Medan, mas-brow? Balik pulau Jawa lagi aja yuk. Paling deket dengan Medan kalo dari sini ya Bandung dan Sunda. Habis itu kita baru ke bibliotheque.


"Stop! Jakarte mane? Tersinggung gue, masak Jakarta , ibukota negara Repulik Indonesia, kagak ade?" Oh iya, mas-brow aku lupa njelasin, Jakarta memang nggak ada. Adanya Batavia. Di ujung jalan deket Timor.

Masih ada banyak nama jalan yang Indo-banget di sekitar daerah ini, mas-brow. Nah, ini ada artikel menarik tulisannya Michael Bremmers judulnya  “De Oost-Indische Buurt in Groningen” yang menjelaskan asal-muasalnya. Kata sejarahwan-sejarahwati Groningen nih, pada tahun 1908 pertama kali  yang digunakan adalah Riouwstraat (Jalan Riau) pada tanggal 4 Januari, menyusul Bankastraat (Jalan Bangka) pada bulan Desember tahun itu juga. Lalu bagaimana tiba-tiba muncul nama (kepulauan) Riau tersebut? Bukannya lebih terkenal Pulau jawa dan Sumatra saat itu? Ini yang masih misteri hingga sekarang. Tidak ada dokumen di arsip pemerintahan kota Groningen, yang mendukung mengapa dipilih nama Riau.

Penamaan nama-nama jalan berbau Indonesia sebenarnya diusulkan sejak 21 Desember 1907 oleh walikota kepada dewan kota, agar mengambil nama-nama kepulauan Hindia yang diklaim milik orang Belanda. Mengapa pemerintah kota dan negara Groningen saat itu merasa perlu mengambil nama-nama kepulauan Hindia-Belanda? Tidak lain karena pemerintahan kota dan negara Groningen mempunyai kamar dagang sendiri di  Dewan West-Indische Compagnie (WIC)-Perusahaan Hindia Barat. Kamar dagang ini telah berperan besar dalam mendapatkan pemasukan juga meningkatkan aktivitas perdagangan hingga wilayah transatlantik bagi Groningen.

Tahun 1909 kemudian menyusul nama-nama Bilitonstraat, Sabangplaats,  Delistraat dan Padangstraat.  Tahun ini pula secara resmi Groningen menyatakan daerah tersebut sebagai lingkungan Hindia Timur (Oost-Indische buurt). 

Semakin lama, Kabupaten Korreweg semakin ramai dikarenakan sebagai jalan utama menuju pusat kota. Pada awal abad keduapuluh, dibangunlah banyak rumah seiring meningkatnya pertambahan penduduk yang tinggal disitu. Akibatnya, jalan-jalan juga bertambah banyak. Seiring pertambahan jalan maka penamaan jalan juga bertambah disesuaikan dengan wilayah Indische buurt tersebut. Hingga tahun 1918 muncul nama Atjehstraat dan Sumatralaan. Tiga tahun kemudian Bilitonstraat semakin diperpanjang, juga diresmikan jalan-jalan lain Bilitonplein, Javalaan dan Borneoplein.

Setelah penamaan Balistraat pada tahun 1925 dibutuhkan hampir satu dekade sebelum lingkungan  ini diperbanyak  dengan jalan-jalan baru. Pada tahun 1934, nama-nama jalan Floresplein, Ambonstraat dan Madoerastraat dicatat, menyusul  setahun kemudian nama-nama Celebesstraat, Ceramstraat dan Molukkenstraat. Setelah itu ada Bankastraat, Soendastraat, Timorstraat, Bataviastraat, Soerabajastraat, Semarangstraat, Molukkenstraat (ekstensi), Bandoengstraat, Medanstraat, Palembangstraat, Menadostraat, Floresstraat dan Javalaan, dan akhirnya perluasan lingkungan Hindia-Belanda ini berakhir karena Perang Dunia Kedua.

Gitu ceritanya, mas-brow. Itu yang cerita para sejarahwan-sejarahwati. Asal muasal kenapa di Groningen banyak nama-nama kepulauan di Indonesia. Kalo aku sih cuma penggemar cerita sejarah aja…hahaha. Ayuk, gowes lagi cari tempat asyik-asyik di Groningen. Tot ziens! (BRT)

editor : Buyung Ridwan Tanjung


Praktik Baik Vaksinasi yang Inklusif dan Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas

oleh  Buyung Ridwan Tanjung Vaksin COVID-19 kini menjadi kebutuhan penting masyarakat. Untuk itu, baik pemerintah dan masyarakat sipil bahu ...