Oleh Buyung Ridwan Tanjung
(tulisan ini pernah dimuat dalam kolom opini di harian Solo Pos dan Harianjogja.com pada 15 Maret 2019)
Sebuah harian di Belanda, Parool, pada 1 Desember 2018 mengangkat liputan yang cukup membuat warga Belanda terhenyak hingga saat ini. Liputan itu berjudul Yang Ilegal di Amsterdam: Kelompok Orang Indonesia yang Terlupakan (IIlegal in Amsterdam: de vergeten groep Indonesiers).
Dalam liputan tersebut diungkapkan dua kisah tentang tiga orang asal Indonesia yang berjuang agar dapat bertahan hidup di Belanda. Liputan itu tidak hanya mengejutkan orang Indonesia, namun juga mengejutkan warga Belanda.
Warga negara Belanda yang mempekerjakan orang migran ilegal akan mendapatkan sanksi yang cukup berat. Pemberitaan ini juga menimbulkan kecemasan tersendiri bagi para pekerja migran asal Indonesia yang tidak berdokumen (undocumented workers) yang telah tinggal di Belanda.
Meski hanya menampilkan dua kisah, sebenarnya mewakili ratusan orang Indonesia yang bernasib sama di Belanda. Bagaimana orang-orang Indonesia dapat masuk dan bekerja tanpa dilengkapi dengan visa dan izin kerja di Belanda?
Hal ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada jaringan yang secara terorganisasi menipu dan memberangkatkan para pekerja tersebut. Eropa, khususnya Belanda, selama ini menjadi tujuan pekerja migran di dunia. Tidak hanya orang dari benua Afrika, akan tetapi juga dari Asia, termasuk Indonesia.
Belanda sebagai negara yang tingkat kesejahteraan penduduknya cukup tinggi dikategorikan sebagai negara yang paling aman di Eropa. Daya tarik mata uang euro yang mempunyai nilai lebih tinggi daripada dolar Amerika Serikat tentu saja akan sebanding dengan penghasilan bekerja di negara tersebut.
Negara ini termasuk yang menolak pekerja migran yang tidak terampil. Para pekerja yang diundang datang ke Belanda hanya mereka yang berketerampilan tinggi (di Belanda dikenal istilah kennismigrant) untuk bekerja di sektor formal.
Mereka diundang apabila tidak ada lagi tenaga kerja di Belanda atau Uni Eropa yang mengisi lowongan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pengiriman pekerja ke Belanda untuk sektor informal atau domestik seperti pengiriman tenaga kerja ke negara-negara Timur Tengah maupun Asia.
Pekerja migran asal Indonesia yang minim keterampilan kecil kesempatan bisa bekerja di Belanda kecuali bekerja secara ilegal. Istilah ilegal masih didiskusikan karena tidak semua pekerja migran secara sengaja atau punya niat menjadi ilegal.
Banyak di antara mereka yang hadir di Belanda karena tipu daya dan korban perdagangan manusia. Oleh karena itu, sebutan pekerja migran tak berdokumen lebih tepat. Catatan diskusi dari Indonesian Migrant Workers Union-The Netherlands (IMWU-NL), sebuah organisasi pekerja migran Indonesia di Belanda, menyimpulkan hampir tiap bulan menemui warga negara Indonesia yang telantar di stasiun kereta api, bandara, maupun masjid di kota-kota besar di Belanda.
Kaki Tangan
Secara garis besar ada dua modus yang dipakai oleh para agen penyalur untuk memasukkan orang Indonesia dengan iming-iming dapat bekerja di Eropa dengan penghasilan tinggi. Modus pertama adalah melalui agen penyalur di Indonesia dan modus kedua yaitu melalui undangan agen di Belanda. Patut dicatat bahwa dua modus ilegal ini selalu melalui agen yang sifatnya perorangan, belum pernah ditemui laporan yang menggunakan nama perusahaan resmi.
Modus yang pertama melalui agen yang ada di Indonesia. Tipu daya pelaku yang mengaku agen penyalur tenaga kerja mensyaratkan uang Rp60 juta hingga Rp100 juta seseorang bisa diberangkatkan ke Belanda. Ongkos itu sudah termasuk biaya perjalanan dan semua surat-surat.
Agen perorangan itu menjanjikan sesampai di bandara di Belanda akan ada orang perusahaan perantara yang menjemput. Surat-surat yang dimaksud tentu saja hanya paspor dan visa kunjungan sebagai turis. Apabila ada pertanyaan mengapa yang diberikan hanya visa turis yang berlaku kurang dari tiga bulan, agen tersebut biasanya akan menjawab hal tersebut lumrah terjadi karena nanti pemerintah Belanda akan mengeluarkan semacam kartu izin tinggal sekaligus izin kerja setelah visa habis masa berlakunya.
Pada akhirnya, sesampai di Bandara Schipol, Belanda, mereka telantar dan tidak ada seorang pun yang menjemput seperti yang dijanjikan. Mereka kemudian memutuskan tinggal beberapa hari di hotel sambil berharap ada yang akan menemui. Kenyataan pahit dihadapi, hingga batas waktu visa habis tidak ada seorang pun yang membantu untuk mencari pekerjaan yang diharapkan.
Modus kedua melalui undangan agen yang tinggal di Belanda. Biasanya cerita dari mulut ke mulut tentang kesuksesan hidup seseorang yang tinggal di Belanda menarik minat para pencari kerja, padahal bisa jadi orang yang dikisahkan tersebut juga pekerja tak berdokumen.
Melalui Facebook atau kadang kala melalui kerabat yang tinggal di Indonesia, agen dari Belanda itu mengarahkan untuk membuat dokumen-dokumen kunjungan ke Belanda. Atas nama sebagai kerabat keluarga atau belas kasihan untuk membantu sesama orang daerah tertentu, agen tersebut merekrut para korban.
Agen di Belanda biasanya punya kaki tangan di daerah tertentu yang diakui sebagai kerabat. Biasanya korban tersebut sesampai di Belanda bisa langsung bekerja di sektor informal. Minimnya informasi tentang syarat-syarat bekerja di Belanda membuat korban sebenarnya telah bekerja secara ”gelap” (zwartwerken) yang merupakan hal yang dilarang oleh pemerintah Belanda. Gajinya pun lebih rendah dengan risiko pekerjaan yang tinggi.
Dua modus ini bisa dicegah dan ditindaklanjuti setidaknya dengan dua cara yang dapat dilakukan di dua negara pula, baik di Indonesia maupun di Belanda. Cara pertama adalah diseminasi informasi yang menyangkut pekerja migran serta kebijakan perburuhan di Eropa, khususnya di Belanda.
Kerja sama antarinstansi pemerintah dan lembaga-lembaga komunitas masyarakat hendaknya bisa menjangkau daerah yang merupakan kantong pekerja migran di Indonesia. Penting diseminasi informasi bahwa hanya pekerja migran yang berketerampilan tinggi di sektor formal yang dapat diperkerjakan di Belanda.
Cara yang kedua adalah melalui penindakan hukum. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda mempunyai atase kepolisian. Atase ini bekerja sama dengan aparat hukum di Indonesia dalam membongkar jaringan kejahatan seperti ini. Informasi maupun laporan para korban di Belanda bisa menjadi awal penegakan hukum di Indonesia.
Catatan penting bagi atase kepolisian di KBRI Belanda adalah harus memiliki perspektif bahwa para pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia tersebut adalah korban kejahatan para agen penyalur, baik yang ada di Indonesia maupun di Belanda. (JIBI/Solopos)
*Penulis merupakan peneliti independen, tinggal di Belanda